!Crap: Goethe dan musik Death Metal

Dikutip dan diterjemahkan mentah-mentah dari buku The End of The World Book karangan Alistair McCartney. (Diarsipkan di bawah huruf “D”.)

Catatan: mohon maklumi terjemahan yang seadanya ini. ^^

DEATH METAL

Kembali ke akhir abad ke-20, khususnya di dekade yang dikenal sebagai tahun 1980-an dan 1990-an, di mana sepertinya setiap harinya, para pemuda, lelah akan sturm and drang dari kedewasaan dan terinspirasi dari lirik-lirik berbau kematian dari band-band death-metal, melakukan aksi bunuh diri secara sangat brutal, yang mana, menurut para sosiolog, adalah tipikal remaja: sebuah pistol di mulut dan mobil terjun ke jurang adalah metode bunuh diri yang dipilih.

Kita bisa bilang para pemuda Amerika Utara yang terobsesi dengan kematian ini sebagai keturunan langsung dari pemuda-pemuda Eropa yang, pada akhir abad ke-18, membaca novel Johann Wolfgang von Goethe, The Sorrows of Young Werther, , yang berakhir dengan sang lakon yang putus cinta mengakhiri hidupnya dengan hati remuk. Seiring publikasinya di tahun 1774, buku ini menginspirasi dua tren di benua Eropa: satu adalah tren memakai jas biru, seperti yang dikenakan Werther; dan satu lagi adalah aksi bunuh diri.

Dalam hal ini, walaupun album death-metal pertama secara teknis belum muncul sampai tahun 1985, bersama rilisnya Seven Churches oleh band Possessed, genre atau subdivisi metal ini perlahan sudah mulai merujuk ke tahun 1772 saat Goethe yang berumur 23 tahun sedang berdiam di Wetzlar dan masih segar dari kegagalan percintaan, mulai menulis buku itu untuk mengobati hatinya sendiri yang remuk.

Dan memang, jika kita mendengarkan death-metal, seakan semua awan hitam tempat sang lakon cerita terjatuh dijejalkan begitu saja ke dalam amplifier; seolah periode Romantik Goethe telah berubah menjadi elektrik, seperti jika Bob Dylan memainkan musik elektrik dan memancing kemarahan kaum hippie, yang berambut panjang layaknya penggemar death-metal dan benar-benar mirip dengan tampang-tampang death-metal, tetapi tanpa ketertarikan dengan kematian.

Saya kira Goethe akan sangat menyukai death-metal, khususnya selama masa Romantik-nya, tapi mungkin bahkan setelah ia meninggalkan aliran Romantik dan beralih ke Klasik, ada suatu kemurnian sonik dan kompleksitas struktural atas musik ini yang pasti akan mempesona Goethe selama fase dewasanya – walau mungkin ia akan mendengarkannya lewat headphone, supaya tidak membangunkan tetangga.

Sekarang, death metal tidak sepopuler dulu, bisa jadi karena di abad ini kematian ada di mana-mana: semua orang terpesona dengan kematian, yang kini bukan lagi hanya milik para pemuda. Para ahli sejarah berkeras bahwa puncak popularitas death metal adalah tahun 1994. Pada saat yang sama, tidak begitu banyak lagi fans death metal melakukan aksi bunuh diri – ahli sejarah juga berpendapat tren bunuh diri ada di puncaknya tahun 1994. Meskipun begitu, di tahun itu kita masih bisa menghadiri konser-konser dimana ribuan pemuda berambut panjang, berserabut, berminyak, dengan wajah dan bahu berhias jerawat menyanyikan lirik-lirik yang berbau kematian, mengayunkan kepala mereka bersamaan, dan dengan jari-jari mereka membentuk lambang tanduk, sehingga tiap kepalan yang basah menjadi Faust-Faust kecil berkeringat. Kaus hitam yang dipakai di atas figur mereka yang kebanyakan kurus kering membawa kilau keperakan huruf-huruf yang mengeja nama-nama band favorit mereka, nama-nama macam Morbid Angel, Carcass, Suffocation, dan Entombed; walaupun begitu, sebagai tanda pengakuan atas hutang para pemuda dan musik ini, di semua kaus mereka seharusnya tercetak satu nama: Goethe. Para pemuda ini sama sekali tidak sadar; mereka tidak tahu betapa Romantik-nya mereka.

Tinggalkan komentar